Nantinya, setelah masuk kawasan konservasi, penanganan kawasan TWA Jompi ini akan berada langsung di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan.
Saat ini, kawasan hutan Jompi adalah hutan lindung yang penanganannya di bawah kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara dan pengawasannya dilakukan UPT KPH Pulau Muna.
Akan tetapi, meski di bawah pengawasan KPH Pulau Muna, perambahan hutan lindung di sekitar Jompi ini masih saja terjadi dan tidak ada tindakan penegakan hukum. Bahkan, banyak pihak secara bebas membuka lahan di sekitar DAS Jompi.
"Jadi, sebagai anggota DPR RI di Komisi IV salah satunya bermitra dengan Kementerian Kehutanan akan mendorong hutan Jompi ini jadi Taman Wisata Alam yang pengawasannya langsung dari Kementerian Kehutanan. Nanti, kalau ada pelanggaran tentang kehutanan, nanti Gakkum Kementerian Kehutanan yang akan menindak," tegasnya.
Meski demikian, pria yang akrab disapa Bang Jay ini menyebut, mekanisme penaikan status kawasan hutan lindung menjadi hutan konservasi tidak lah mudah.
Perubahan fungsi kawasan hutan ini, salah satunya mesti ada usulan Gubernur Sulawesi Tenggara ke Menteri Kehutanan RI.
"Nanti saya akan ketemu langsung Gubernur Sulawesi Tenggara terkait penaikan status kawasan Hutan Lindung Jompi menjadi kawasan Konservasi," imbuhnya.
Jaelani menuturkan, dengan diambilalihnya kewenangan penanganan hutan Jompi ke Kementerian Kehutanan, diharapkan bisa menekan perusakan hutan dan menjaga kelestarian ekosistem hutan Jompi.
Sebab, jika deforestasi terus dibiarkan, akan mengancam kehidupan masyarakat yang selama ini memiliki ketergantungan kepada Sungai Jompi.
"Khawatirnya nanti di enam kecamatan ini kita impor air bersih. Bayangkan kalau hutan di sekitar Jompi sudah rusak, debit air sudah sedikit, sementara angka pertumbuhan masyarakat terus meningkat, kebutuhan air bersih tentunya tidak akan tercukupi," jelasnya.
Untuk itu, kata Jaelani, sebelum terlambat, perlunya secara bersama menjaga Jompi beserta kawasannya sebagai masa depan generasi di Pulau Muna.
"Kawasan Jompi kita harus jaga bersama sebagai aset untuk masa depan anak cucu kita. Makanya, solusinya saya tawarkan ke masyarakat, Kawasan Hutan Jompi kita naikan statusnya dan kewenangannya langsung di bawah kementerian," imbuhnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat Jompi, Ali Badin Fiihi mengaku, Sungai Jompi berada di dua kelurahan, Mangga Kuning dan Laende.
Menurutnya, kondisi Sungai Jompi yang kritis ini perlu langkah tindak lanjut yang komprehensif dari semua pihak, baik masyarakat dan pemerintah.
"Kita harus bersama selamatkan mata air Jompi ini. Jangan sampai nasibnya (hutan Jompi) seperti hutan Warangga," ujarnya.
Untuk itu, ia mendukung langkah Jaelani untuk menaikan status hutan Jompi menjadi kawasan konservasi. Dengan demikian, pengawasannya akan diambil alih langsung oleh Kementerian Kehutanan.
"Masyarakat di Jompi ini sangat mendukung langkah itu untuk bersama-sama menyelamatkan mata air Jompi ini," tekannya.
Sementara itu, tokoh masyarakat lainnya, Nur Kadas menyebut, Jompi ini diberi nama oleh Belanda pada Tahun 1927.
Ia juga menyebut, sungai Jompi merupakan satu-satunya mata air di Sulawesi Tenggara yang berada di ibu kota kabupaten.
"Sehingga perlu adanya penyelamatan untuk anak cucu kita ke depan," tegasnya.
Senada dengan tokoh masyarakat, anggota DPRD Sultra La Ode Marshudi akan menindaklanjuti rencana penaikan status hutan lindung menjadi kawasan konservasi Jompi.
"Setelah dinaikan statusnya, maka setiap daerah aliran sungai (DAS) wilayah hutan konservasi yang wajib dijaga bersama. Mulai dari bagian Kecamatan Loghia, Kontunaga dan Watopute," bebernya.
"Mengenai administrasi penaikan status kawasan, nanti saya akan bertemu dengan Gubernur Sulawesi Tenggara. Urusan di Kementerian Kehutanan, nanti ada Bang Jay," tambahnya.
Soroti Masalah Kehutanan di Sultra
Selain berbicara isu Jompi, Jaelani juga turut menyoroti masalah kehutanan di Sulawesi Tenggara yang luasannya terus menurun akibat pertambangan.
Bahkan, beberapa wilayah hutan di pulau kecil, turut dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan industri ekstraktif tersebut.
"Ini juga menjadi catatan saya di DPR RI. Sultra itu terkenal dengan tambang nikelnya. Namun, pertambangan ini juga menyisakan masalah terhadap masa depan hutan kita," kata Jaelani.
Menurutnya, pemerintah tidak boleh jor-joran menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk kebutuhan industri pertambangan.
Sebab, kerusakan lingkungan akibat hilangnya tutupan hutan di Sultra sudah terasa dampaknya.
"Di beberapa daerah yang dulunya aman dari banjir lumpur, sekarang banjirnya cukup parah," katanya.
Sebagai contoh adalah beberapa pulau kecil yang harusnya tidak boleh ada izin pertambangan, malah akhirnya diterbitkan izin usaha pertambangan (IUP).
"Berdasarkan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-pulau kecil kan tambang tidak boleh ada di pulau kecil, tapi faktanya kan ada. Ini harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah tentang izin itu," imbuhnya.
Meski Ketua DPW PKB Sultra ini tidak menyebut secara detil pulau kecil yang dimaksud, namun dua pulau kecil yang sementara terancam tambang adalah Pulau Wawonii dan Pulau Kabaena.
Editor : Asdar Zuula