“Kalau obat saya tidak mempan, saya panggil sikerei lain,” ujar Kukru. Ini bukan soal gengsi, melainkan bagian dari etika penyembuhan dan rasa tanggung jawab antar sesama sikerei.
Namun, regenerasi menjadi tantangan besar. Dari 62 sikerei aktif yang tercatat pada 2011, kini hanya tersisa 35 orang. Banyak generasi muda yang enggan melanjutkan tradisi ini, memilih pekerjaan yang lebih cepat menghasilkan.
“Saya belajar karena terpaksa. Istri saya sakit, dan tidak ada yang mau bantu. Akhirnya saya belajar sendiri,” kata Kukru.
Tradisi yang Terancam Hilang
Menjadi sikerei bukan perkara mudah. Prosesnya panjang, memerlukan ketekunan, biaya, serta komitmen spiritual. Pantangan seperti tidak menyentuh istri setelah mengobati pasien adalah salah satu bentuk kedisiplinan yang dijalani seumur hidup.
Kondisi ini diperparah oleh modernisasi. Anak-anak muda kini lebih tertarik menanam pinang, bekerja di luar pulau, atau melanjutkan sekolah. Tradisi turun-temurun yang dulu diwariskan melalui pengalaman dan pengamatan, kini mulai dilupakan.
Editor : Asdar Zuula
Artikel Terkait