Kemarahan juga diungkapkan Mulyono. Ia tahu betul bagaimana proses lahan itu mulai dirintis hingga digarap.
"Itu sekitar 60 kepala keluarga (KK) hampir seluruh masyarakat Desa Pongkaloera terlibat. Dan pada saat itu, kami langsung tanam kopi dan beberapa jenis tanaman lain, sekitar 6 ribu pohon kami tanam, " ungkap Mulyono dikonfirmasi via telepon, Selasa (1/10/2024).
"Kami itu kelompok tani, kaplingan itu kami lakukan untuk perkebunan," imbuhnya.
Belakangan, kata Mulyono, lahan yang mereka garap itu masuk dalam izin usaha pertambangan (IUP).
Mulyono mengatakan pada saat kelompok orang itu melakukan kaplingan, sempat ada yang mengingatkan soal status Lahan itu. Namun, peringatan itu tidak digubris.
"Disitu, diingatkan bahwa rintisan lahan yang dikapling itu, sudah masuk kaplingan kami. Hanya pada saat itu, ada salah satu yang juga tokoh masyarakat di desa kami mengatakan rintisan kami itu sudah lama dan sudah tidak berlaku, " terangnya.
"Sudah tidak diakui katanya. Saya rasa yang harus diakui yang merintis diawal, bukan yang baru datang merintis, " tambahnya.
Lanjut Mulyono menegaskan pihaknya memiliki legalitas lahan tersebut, dokumen telah dibuat pada tahun 2011.
"Pada tahun itu dokumen dibuat. Lahan langsung diukur, ada dibuat petanya. SKTnya ada dibuat oleh aparat desa tahun itu. dan ditandatangani oleh Camat waktu itu, " ungkapnya.
"Bahkan, batas-batas lahan yang ada jika mereka lihat itu mereka bongkar, " ujarnya.
Mulyono mengaku, mengetahui proses jual beli Lahan mereka itu dilakukan di Kendari. Uang senilai miliaran rupiah diserahkan pihak perusahaan ke kelompok penjual di salah satu hotel di Kendari. Untuk menghilangkan jejak, mereka kerap berpindah dari satu hotel ke hotel lainnya.
"(Mendengar hal itu) kami marah. Hanya kami masih mengontrol diri, sambil rembuk mencari langkah-langkah selanjutnya. Jika tidak ada penyelesaian, kami akan menempuh jalur hukum, " tambahnya.
"Dokumen SKT nya masih kami pegang," kata warga lainnya, Abdul Hanif. "Sampai kapanpun kami tidak terima. Lahan itu milik kami, yang menjual itu tidak miliki hak karena mereka baru merintis, " tegasnya.
Sementara itu, Abdul Munif selaku Ketua BPD Desa Pongkalaero mengaku mengetalui proses jual beli Lahan tersebut. Saat proses transaksi akan dilakukan, ia mengaku dihubungi.
"Kebetulan ada di Kota Kendari sedang mengikuti pelatihan aparat desa," Abdul Munif berdalih.
"Saya tidak banyak informasi terkait itu. Saya hanya bantu saja. Kebetulan saya di Kendari, saya ada disitu dihubungi, " terangnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Selasa (1/10/2024).
"Saya beritahu, jangan diambil (lahan) karena ada yang punya itu orang-orang tua itu, " tambahnya.
Abdul Munif mengaku tidak memiliki lahan disitu, hanya sebatas membantu karena ada warga yang klaim dan memberitahu lahannya akan dijual.
"Bukan, saya yang tidak punya (lahan). Saya hanya bantu saja. Kebetulan saya ada di Kendari, " ujarnya.
Ketika ditanya status lahan tersebut, Abdul Munif mengatakan statusnya merupakan lahan areal pengguna lain (APL).
"Saya tanya perusahaan, yah begitu (statusnya APL). Terkait lahan itu, saya belum tahu banyak. Nanti jelasnya tanya ke pihak perusahaan, " ujarnya.
Sementara itu, pihak perusahaan PT Tri Daya Jaya (TDJ) belum dapat dikonfirmasi.
Wartawan media ini, mencoba menghubungi bagian Hubungan Masyarakat (Humas) via telepon dan pesan WhatsApp belum ditanggapi.
Editor : Asdar Zuula
Artikel Terkait