Menurutnya, dia sudah menguasai lahan di Desa Tolowe Pondre Waru (Samaenre Kini) seluas 24 Ha dengan bermukim dan berkebun di sekitar lokasi itu pada 1984. Untuk mencukupi kebutuhan ekonominya, dirinya bersama sejumlah warga lain mulai menanam tanaman perkebunan diantaranya jambu mete, kakao, durian, rambutan dan sejumlah tanaman lainnya.
"Sudah ada ganti rugi tanam tanaman untuk beberapa warga, kalau saya jangankan lahan, tanaman saja belum ada kejelasan," keluhnya.
Ambo Tang, menunjukkan salah satu dokumen yang dimilikinya, diantaranya Surat Keterangan Tanah seluas 20.000 meter persegi atau 24 Ha sejak 1986 berdasarkan SKT yang dikeluarkan Pemerintah Desa Tolowe Pondre Waru. SKT itu, juga teregistrasi dengan nomor 827/PWK/IX/1986. Atas dasar itu, dirinya juga masih membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke Negara sejak 1987 senilai Rp. 2.800. Namun, hal itu dinilai belum kuat karena perusahaan masih mengabaikan perjanjian bersama warga.
"Untuk luasannya itu sekitar 24 Hektare, dengan tiga sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN, 10 hektar sudah diratakan dengan tanah, lokasi itu hingga kini saya masih bayar PBB-nya," ungkapnya.
Dia mengenang kehidupan warga di lokasi tambang itu, dahulu tenang tanpa ada masalah. Ambo sudah tinggal selama 39 tahun di Desa Samaenre (Dulu Pondre sebelum mekar), bisa memastikan bahwa warga tentram, meski harus hidup berdampingan dengan aktivitas tambang.
Ketenangannya dan Warga Samaenre itu terusik, saat perusahaan dan pemerintah setempat mengundang warga mensosialisasikan rencana aktivitas tambang pembangunan smelter serta fasilitas lain di lokasi mereka pada 2013 lalu.
"Dulu rencananya di kelurahan Wolo, tapi entah masalah apa perusahaan memindahkan pembangunan di sini," ucapnya.
Editor : Asdar Zuula
Artikel Terkait