Forum Bersama Jurnalis Sultra Tolak Pasal Mengancam Kemerdekaan Pers dalam Revisi UU Penyiaran

Mukhtaruddin
Forum Bersama Jurnalis Sultra Tolak Pasal Mengancam Kemerdekaan Pers dalam Revisi UU Penyiaran. (Foto: Mukhtaruddin)

KENDARI, iNewsKendari.id - Puluhan jurnalis di Kota Kendari, tergabung dalam Forum Bersama Jurnalis Sulawesi Tenggara (Sultra) menolak sejumlah pasal dalam draf revisi Undang-Undang (UU) nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang diinisiasi DPR RI.

Forum Bersama Jurnalis gabungan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sultra, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kendari, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sultra, menyuarakan penolakan sejumlah pasal revisi UU Penyiaran itu dengan berunjuk rasa di DPRD Sultra, Senin (20/5/2024).

Dalam aksi ini, para jurnalis menilai, sejumlah pasal dalam revisi UU Penyiaran,  mengancam kemerdakaan pers.

"Kedatangan kami hari ini adalah untuk menyampaikan aspirasi penolakan protes terhadap draf (revisi) undang-undang penyiaran, yang secara tersirat undang-undang itu akan mengekang kemerdekaan pers. Dewan Pers sebagai gerbang terakhir pers di Indonesia harus tidak boleh kalah dengan kekuasaan," kata Ketua PWI Sultra, Sarjono, dalam orasinya.

Setelah menyampaikan orasi, puluhan Jurnalis tergabung dalam Forum Bersama Jurnalis Sultra, ditemui Ketua Komisi I DPRD Sultra, Syahrul Said.

Di hadapan para Jurnalis, Syahrul mengatakan, segera meneruskan aspirasi penolakan sejumlah pasal dalam draf revisi UU Penyiaran ke DPR RI.

Sebelumnya, Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengeluarkan pernyataan memprotes sejumlah pasal dalam draf revisi UU Penyiaran yang diinisiasi DPR RI.

Menurut Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, ada sejumlah Pasal yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers. 

Selain itu kata Herik, IJTI menaruh perhatian serius terhadap draf revisi UU Penyiaran, baik dari sisi proses penyusunan maupun subtansi. 

IJTI menyayangkan proses penyusunan draf revisi UU Penyiaran ini yang terkesan dilakukan tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers, terlebih penyusunannya tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers. 

Sejumlah pasal dalam draf revisi UU Penyiaran menjadi perhatian khusus bagi IJTI:

Pertama, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. 

"IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan, pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi?. Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi," kata Herik.

Secara subtansi, pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air. 

"Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi UU Penyiaran akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas," imbuhnya.

Kedua, Pasal 50 B ayat 2 huruf k, penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini sangat multi tafsir terlebih yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik. 

Kata Herik, IJTI memandang pasal yang multi tafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis/pers. 

"Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers memiliki tanggung jawab sebagai control sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntabel dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik," jelas Herik.

Ketiga, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers. 

IJTI juga memandang bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR. 

Sesuai dengan UU Pers, telah jelas bahwa, komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui selft regulation. 

Oleh karena itu setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers. Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun. 

Menyikapi hal tersebut, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan sikap sebagai berikut: 

1. Menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut 

2. Meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik 

3. Meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform.

Editor : Asdar Zuula

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network