KOLAKA, INewsKendari.id - Klaim kepemilikan lahan warga desa Samaere, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang berada di Wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Ceria Nugraha Indotama (CNI) dibantah oleh pihak perusahaan.
Manager Legal PT Ceria Nugraha Indotama (CNI), Moch Kenny Rochlim mengungkapkan, lahan yang diakui oleh Ambo Tang (67) berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) nomor registrasi 827/PWK/IX/1986 bukanlah milik Ambo Tang melainkan atas nama Katang.
Atas dasar itu juga, dirinya masih membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke Negara sejak 1987 senilai Rp. 2.800. PT CNI, memberikan penegasan bahwa, dokumen yang dijadikan bukti pembayaran tersebut tertulis Iuran Pendapatan Daerah (IPEDA) U Pandang, Kecamatan Wolo Tosiba, Kelurahan Tolowe.
Menurut Kenny, bahwa Surat Keterangan Tanah (SKT) bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, SKT hanya dapat dibuat guna menyaksikan kebenaran pernyataan subjek pendaftaran hak atas tanah pada kantor pertanahan Kabupaten/Kota, dimana SKT tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan kebenarannya perlu di uji oleh pejabat yang berwenang, karena kepemilikan hak atas tanah harus dikuasai oleh suatu hak atas tanah berdasarkan sertifikat.
Kenny menambahkan lokasi lahan yang klaim Ambo Tang dengan Sertifikat atas nama orang lain sama sekali tidak mengetahui objek lokasi dalam sertifikat saat dilaksanakan peninjaun lapangan.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Pokok Agraria tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), kepemilikan hak atas tanah harus berdasarkan sertifikat hak milik (SHM). Maka SPPT Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bukan bukti kepemilikan hak atas tanah,” ujarnya.
Sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak atas tanah sebagai diatur dalam pasal 32 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tantang Pendaftaran Tanah.
“Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, bukan suatu pengakuan memiliki hak atas tanah dengan sertifikat hak milik (SHM) yang tidak sesuai dengan nama yang tertera dalam SHM ”,jelasnya.
Kenny menjelaskan bahwa Pemegang sertifikat yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya.
Menurut Kenny, Surat pemberitahuan pajak terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) bukan bukti kepemilikan hak atas tanah. Sebelum dikenal dengan SPPT PBB bukti pembayaran pajak, namanya Ketitir, Petuk D dan Iuran Pendapatan Daerah (IPEDA)”, ujar Kenny.
Kaidah hukumnya menurut kenny adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung No: 34 K/Sip/1960 tanggal 10 Pebruari 1960. Girik, ketitir petuk dengan apapun namanya hasil fiscal kadaster bukan tanda bukti hak atas tanah atau sawah.
Kadiah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No: 663 K/Sip/1970 tanggal 22 maret 1972.
“Ketitir tanah, Petuk D bukan merupakan bukti kepemilikan tanah, melainkan hanya merupakan bukti tanda pajak tanah dan bukan menjamin bahwa orang yang namanya tercantum dalam ketitir tanah tersebut adalah juga pemilik”. Ujar Kenny.
Kaidah hukum yang dijelaskan sangat tegas bahwa kepemilikan hak atas tanah wajib dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah.
“Jadi jika seseorang klaim sebagai pemilik hak atas tanah maka ia harus membuktikannya dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dengan nama seeuai KTP dan Objek lokasi tanahnya sesuai ploting peta dan Nomor Induk Bidang ”, tegas Kenny.
Kenny menegaskan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Hak atas Tanah, sebagaimana dalam BAB IV Pasal 11 telah ditegaskan, yang berwenang memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah, jika luasannya tidak lebih dari 2 (dua) hektar, bukanlah berada ditangan Kepala Desa, melainkan menjadi wewenang Kepala Kecamatan.
Untuk jelasnya, ketentuan hukum dari Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Kepala Kecamatan memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah jika luasnya tidak lebih dari 2 (dua) hektar, dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Desa yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu”. Kutipnya.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan alasan apapun, Kepala Desa sebenarnya tidak mempunyai wewenang menerbitkan ijin membuka tanah kepada siapapun. Wewenang pemberian ijin membuka tanah seperti dimaksud dalam Bab IV Pasal 11 Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut, sejak tahun 1984 sudah tidak bisa lagi dipergunakan/dilakukan, baik Kepala Desa/Lurah maupun Camat di seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Editor : Asdar Zuula
Artikel Terkait