Sang Saka Merah Putih, Bung Karno dan Air Mata Fatmawati

Solichan Arif
Bung Karno dan Bung Hatta saat menyerahkan sang saka merah putih untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1948 di Yogyakarta. (Foto: Repro/istimewa)

SURABAYA, iNews.id - Pasukan Jepang yang berhasil mengambil alih kekuasaan kolonial Belanda (1942-1945), berusaha merengkuh hati rakyat Indonesia. Jepang menyebut diri sebagai saudara tua sekaligus menjanjikan kemerdekaan. 

Para pemimpin pergerakan sebelumnya diasingkan kolonial Belanda, yakni utamanya Bung Karno, Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, dikembalikan ke Jawa. Jepang berkepentingan dengan dukungan Perang Asia Timur Raya.

Menyusul janji kemerdekaan yang diumumkan terbuka pada September 1944, bendera merah putih boleh dikibarkan. Di perayaan hari-hari besar, merah putih diizinkan berkibar bersanding dengan bendera Jepang, hinomaru. 

Namun karena sulitnya mendapatkan kain, bendera merah putih tidak serta merta bisa berkibar di mana-mana. Dalam rangka mengambil hati, Pemerintah Jepang memberi perhatian lebih kepada Bung Karno yang kesulitan mendapat kain merah putih.

“Shimizu kemudian memerintahkan seorang perwira Jepang untuk mengambil kain merah dan putih secukupnya untuk diberikan kepada Ibu Fatmawati,” demikian dikutip dari buku Berkibarlah Benderaku Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka. 
Shimizu adalah perwira Jepang yang menjabat kepala barisan propaganda di Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Sumatera). Shimizu dikenal sebagai orang Jepang yang bersimpati kepada Indonesia.

Melalui Chaerul Basri, anak buahnya, Shimizu mengatur semua fasilitas untuk Bung Karno saat kembali dari pengasingan dan berada di Jakarta. Mobil sedan Buick lengkap dengan pengemudi dan sebuah rumah besar di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. 

Bung Karno yang telah menjadi pemimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat) memerlukan tempat tinggal dengan halaman yang luas. “Agar saya bisa menerima rakyat banyak,” kata Bung Karno menjelaskan alasannya. 

Rumah besar yang kelak menjadi tempat dibacakannya teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu, awalnya ditinggali keluarga Belanda. Shimizu mengurus pemindahan itu dengan tukar guling (ruislag) dengan gedung bertingkat di jalan Lembang, Menteng.

Pada November 1943, Bung Karno juga pernah diundang Jepang. Perdana Menteri Tojo memberi hadiah kimono kepada Fatmawati. Bahkan saat putra pertama Bung Karno lahir (3 November 1944), yakni Guntur Soekarnoputra, Jenderal Imamura, Panglima Besar Tentara Jepang di Jawa memberi julukan Guntur Osamu, yang artinya memerintah.

Kain merah dan putih pemberian Shimizu diterima Fatmawati. Kain itu berjenis katun halus, setara jenis primissima yang biasa dipakai untuk batik tulis halus. Kain merah dan putih diperoleh dari sebuah gudang di Jalan Pintu Air, Jakarta Pusat, kemudian diantarkan Chaerul Basri ke Pegangsaan Timur.

Pada akhir tahun 1944 itu, Fatmawati sedang hamil tua putra pertamanya. Di ruang makan depan kamar tidur, Fatmawati menjahit kain merah dan putih pemberian Jepang. Dia memakai mesin jahit Singer yang digerakkan tangan, karena kakinya dilarang dokter terlalu banyak bergerak.

“Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulanannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih,” kata Fatmawati dikutip dari Berkibarlah Benderaku Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka.

Kondisi hamil tua, ditambah ukuran bendera yang besar 2 X 3 meter, Fatmawati tidak bisa serta merta menyelesaikan pekerjaanya. Proses penjahitan selesai dalam waktu dua hari. Selama proses berlangsung, Fatmawati beberapa kali meneteskan air mata jatuh di atas kain merah putih.

Fatmawati saat itu berusia 22 tahun terharu, mengingat perjuangan panjang meraih kemerdekaan telah mendekati hasil akhirnya. “Berulangkali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu,” kata Fatmawati.

Bendera merah putih yang dijahit Fatmawati pada akhir tahun 1944 itu, berkibar di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945, mengiringi pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarahnya bendera pusaka itu berkibar beberapa kali di tiang yang sama.

Karena seringnya dicuci, pusaka sang saka merah putih berukuran besar itu (2 X 3 Meter) mengerut, berubah menjadi ukuran 196 X 274 sentimeter.

Editor : Asdar Zuula

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network