LOMBOK, iNewsKendari.id - Viral di Media sosial Video pernikahan sepasang remaja, seorang siswa SMK dan siswi SMP di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Video yang viral tersebut memicu kekhawatiran publik dan mempertegas kenyataan pahit bahwa praktik perkawinan anak masih marak terjadi di daerah ini.
NTB selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia. Meski berbagai kampanye dan program pencegahan sudah dijalankan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pernikahan dini masih dianggap sebagai pilihan yang wajar, bahkan solusi, oleh sebagian masyarakat.
Ancaman Nyata bagi Masa Depan Anak NTB
Pernikahan di usia belia membawa dampak serius, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Anak-anak yang menikah terlalu dini rentan mengalami putus sekolah, kehamilan yang belum siap secara medis, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi ini bisa memperkuat siklus kemiskinan dan mempersempit masa depan mereka.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB mencatat 581 kasus perkawinan anak sepanjang tahun 2024. Angka tersebut mencerminkan lemahnya sistem perlindungan dan edukasi anak di berbagai lini.
Aktivis Perempuan: Jangan Tunggu Viral Baru Bertindak
Aktivis perempuan NTB, Ira Apryanthi, mengecam pembiaran terhadap fenomena ini. Ia menilai reaksi publik yang baru muncul setelah kasus viral menunjukkan bahwa sistem perlindungan anak belum berjalan secara proaktif.
“Kita tidak bisa terus-menerus menunggu kasus viral untuk mulai peduli. Ini bukan kejadian pertama, dan sayangnya bisa jadi bukan yang terakhir jika semua pihak tidak bergerak bersama,” ujar Ira, Sabtu (24/5/2025).
Anak dan Remaja Harus Diberdayakan
Menurut Ira, solusi tidak hanya datang dari atas. Anak-anak dan remaja perlu dilibatkan dalam gerakan perubahan. Edukasi tentang hak-hak mereka harus ditanamkan sejak dini, agar mereka memiliki kesadaran dan keberanian untuk menolak tekanan sosial yang mendorong mereka menikah terlalu muda.
“Kita butuh lebih banyak ruang aman dan forum ekspresi bagi anak muda. Mereka harus merasa punya kendali atas hidup mereka,” tambahnya.
Evaluasi Sistemik dan Kolaboratif Sangat Diperlukan
Penanganan kasus perkawinan anak memerlukan pendekatan lintas sektor: dari pendidikan, hukum, ekonomi, hingga budaya. Pemerintah daerah, tokoh adat, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, dan media lokal perlu bersinergi untuk mengubah paradigma yang telah lama mengakar.
Di tengah keterbatasan pendanaan, pendampingan yang belum merata, dan resistensi budaya, berbagai program seperti “Stop Perkawinan Anak” yang diluncurkan Pemprov NTB bersama mitra internasional seperti UNICEF masih belum menunjukkan hasil maksimal.
Lindungi Anak, Lindungi Masa Depan NTB
Menghapus praktik perkawinan anak bukan tugas satu pihak saja. Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus menjadi garda depan dalam menciptakan ruang tumbuh yang sehat dan bebas tekanan untuk anak-anak.
“Kalau kita serius ingin membangun NTB yang maju, kita harus mulai dari melindungi anak-anak hari ini,” pungkas Ira.
Editor : Asdar Zuula
Artikel Terkait