KOLAKA, iNewsKendari.id - Ambo Tang (67) tampak lesu memandangi puing-puing lahan kebunnya yang kini disulap menjadi base camp perusahaan tambang PT Ceria Nugraha Indotama (CNI) di Blok Lapao-pao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Kerutan masam nampak jelas terlukis di wajah pria berusia lebih dari setengah abad ini, saat melihat urugan tanah merah yang telah diratakan pihak perusahaan tambang. Binar matanya berkobar ketika melihat pekerja tambang lalu lalang di lokasi yang dulunya menjadi kebun untuk menghidupi keluarganya.
"Di sini saya berkebun, untuk memenuhi kebutuhan keluarga," ujarnya.
Ambo Tang merupakan salah satu warga yang memilih mempertahankan kebunnya, namun apa daya kekuatan yang dimiliki untuk melawan kepentingan korporasi tak sesuai dengan kemampuannya.
Menurutnya, dia sudah menguasai lahan di Desa Tolowe Pondre Waru (Samaenre Kini) seluas 24 Ha dengan bermukim dan berkebun di sekitar lokasi itu pada 1984. Untuk mencukupi kebutuhan ekonominya, dirinya bersama sejumlah warga lain mulai menanam tanaman perkebunan diantaranya jambu mete, kakao, durian, rambutan dan sejumlah tanaman lainnya.
"Sudah ada ganti rugi tanam tanaman untuk beberapa warga, kalau saya jangankan lahan, tanaman saja belum ada kejelasan," keluhnya.
Ambo Tang, menunjukkan salah satu dokumen yang dimilikinya, diantaranya Surat Keterangan Tanah seluas 20.000 meter persegi atau 24 Ha sejak 1986 berdasarkan SKT yang dikeluarkan Pemerintah Desa Tolowe Pondre Waru. SKT itu, juga teregistrasi dengan nomor 827/PWK/IX/1986. Atas dasar itu, dirinya juga masih membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke Negara sejak 1987 senilai Rp. 2.800. Namun, hal itu dinilai belum kuat karena perusahaan masih mengabaikan perjanjian bersama warga.
"Untuk luasannya itu sekitar 24 Hektare, dengan tiga sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN, 10 hektar sudah diratakan dengan tanah, lokasi itu hingga kini saya masih bayar PBB-nya," ungkapnya.
Dia mengenang kehidupan warga di lokasi tambang itu, dahulu tenang tanpa ada masalah. Ambo sudah tinggal selama 39 tahun di Desa Samaenre (Dulu Pondre sebelum mekar), bisa memastikan bahwa warga tentram, meski harus hidup berdampingan dengan aktivitas tambang.
Ketenangannya dan Warga Samaenre itu terusik, saat perusahaan dan pemerintah setempat mengundang warga mensosialisasikan rencana aktivitas tambang pembangunan smelter serta fasilitas lain di lokasi mereka pada 2013 lalu.
"Dulu rencananya di kelurahan Wolo, tapi entah masalah apa perusahaan memindahkan pembangunan di sini," ucapnya.
Ambo menyebutkan, dari sosialisasi itu dia mengetahui bahwa, lahan perkebunannya bakal terdampak rencana pembangunan itu. Lahan yang masuk dalam rencana itu akan dibebaskan dan akan mendapatkan ganti untung tanaman dan lahan sesuai dengan dasar kepemilikan lahan masyarakat setempat.
Ganti untung itu, menurutnya, semacam diberikan pembayaran tanaman yang dirusak di lahan perkebunan, selain itu warga yang memiliki dokumen kepemilikan lahan yang sah juga akan mendapat kompensasi dan ganti rugi.
"Pernah ada kesepakatan kompensasi dan ganti rugi bersama pihak perusahaan yang difasilitasi pemerintah Kecamatan saat sosialisasi dan pertemuan bersama warga," ungkapnya
Setelah beberapa tahun, lahan kebunnya telah hilang namun pihak perusahaan dan pemerintah yang mengiming-imingi ganti rugi hingga kini juga belum merealisasikan perjanjian sesuai dengan pertemuan yang telah dilakukan beberapa kali bersama masyarakat sekitar.
"Tidak ada lagi kebun untuk menghidupi keluarga, kompensasi dan ganti rugi yang ucap hingga ditandatangani hanya sebatas janji, semua berubah menjadi sarana yang telah dibangun oleh perusahaan," tuturnya.
Perjuangan Ambo Tang bersama sejumlah warga yang belum mendapatkan kompensasi dan ganti rugi dari perusahaan sudah kerap dilaporkan kepada Pemerintah Kabupaten Kolaka, bahkan laporan perusakan tanaman pun sudah dilakukan hingga ke Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra). Namun respon pemerintah dan pihak perusahaan tidak peduli dan masih melanjutkan rencana pembangunan di lahannya.
"Beberapa kali pertemuan dengan pemerintah, DPRD, Polsek Hingga Kami ke Polda namun belum juga direspon dari Mereka," kesalnya.
Ambo Tang memilih memperjuangkan haknya sebagai warga Wolo, Blok Lapao-pao. Ia ingin setidaknya diberikan nominal ganti rugi yang layak dan juga transparan atas kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Perusahaan PT Ceria Nugraha Indotama.
Editor : Asdar Zuula
Artikel Terkait